"Dalam suatu hari berlangsunglah pergulatan di tanah makam Mbah Priok yang cukup sengit. Laiknya perang saudara. Pertikaian antara penguasa dan masyarakatnya. Dalam tempo singkat korban mati 3 orang dari petugas satpol pp. Yang terluka seratus orang lebih. Puluhan mobil dinas satgas dibakar masa. Kerugian mencapai milyaran rupiah. Sesungguhnya apa yang menjadi pemicu utama? Tidak lain dan tidak bukan adalah pembelaan harga diri atas sebuah makam. Bila mengingat kembali ke belakang. Peristiwa penggusuran makam tidak jarang terjadi. Khususnya di kota-kota yang menghadapi pesatnya kaum urban. Tetapi siapa peduli?
Alih-alih demi kepentingan umum. Alih-alih demi alasan penataan wilayah. Alih-alih demi hukum. Dan demi demi lainnya. Sudah jelas demi demit yang terkutuk. Biasanya ahli waris tidak mampu melakukan perlawanan. Pasrah saja. Mendoakan jasad dalam makam yang sedianya digusur arwahnya diberi ketenangan dan limpahan pahala Sang Pemberi Pengampunan. Drama pergumulan mempertahankan sepetak lahan antara yang mati dan yang hidup menimbulkan kegelian. Betapa tidak. Itu semua seharusnya tak perlu terjadi bila penggagas penggusur makam sedikit punya 'kecerdasan' dan kepekaan sosial. Seperti kreatifitas menata areal makam agar nyaman dikunjungi. Sedap dipandang. Tidak angker dan tak kumuh. Yang menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Dan bukannya menjadi pangkalan para psk, hidung belang atau penjudi kelas teri.
Menggusur makam sudah jelas perbuatan tidak bermoral apalagi berbudaya. Menggusur makam pun bukan solusi atas suatu permasalahan yang timbul. Menggusur makam bukan pula hal yang bisa dianggap sepele. Bila terus berlangsung, niscaya dikemudian hari muncul 'suporter-suporter' makam seperti 'suporter' nya makam Mbah Priok. Yang rela menyabung nyawa demi mempertahankan eksistensi, agar yang hidup menghormati yang mati. Memindahkan 'jasad' dari suatu makam ke tempat lain, tidak serta merta mengusung sang arwah ke tempatnya yang baru. Diperlukan 'strategi' agar supaya arwah tergusur mau diajak kompromi untuk ikut serta diboyong. Oleh karenanya. Acap kali ramai diberitakan pada berbagai media masa: bahwa telah terjadi berbagai peristiwa kesurupan masal. Di sekolah ini, di kota itu. Di pabrik ini, di perusahaan itu, dan lain sebagainya. Kalau sudah demikian. Bukan lagi satpol pp yang mampu menertibkan. Juga bukan polisi punya urusan. Apalagi dokter untuk upaya penyelamatan dan penyembuhan. Kecuali Ki Joko Bodo yang paham akan 'dunia sana'. Hua..ha.. ha!"
Bagi mereka yang telah meninggal ternyata masih jauh dari ketenangan di alam kematiannya. Tempat persemayaman akhir yang seharusnya dalam kedamaian dan peristirahatan abadi pun memerlukan penjagaan. Setidaknya agar tempat 'tinggal'-nya tidak digusur oleh jasad lain yang perlu ruang juga. Tidak hanya itu. Mereka yang telah meninggal masih harus memenuhi segala kewajiban; seperti membayar pajak makam, memberi tip ke penjaga makam, tip kepada yang memanfaatkan hari-hari 'nyekar' saat pasaran jumat legi atau menjelang puasa yang menjual jasa membersihkan 'rumput' di permukaan makam-makam yang gundul.
Lantas siapa yang akan membayarkan pajak dan segala pungutan itu semua? Tentu saja ya sang ahli waris, atau sanak kadang yang masih ada. Yang masih bisa menyisihkan rejeki buat urusan pemeliharaan makam. Yang masih menjaga adat dan kesopanan untuk menghormati anggota keluarga yang sudah meninggal. Beruntung mereka yang telah mati punya sanak famili yang gigih merawat dan mempertahankan makam dari upaya penggusuran, pemindahan ataupun penempatan jasad lain. Seperti keturunan si Mbah Priok itu. Tetapi bagi yang tidak. Ceritanya akan menjadi kenangan selanjutnya dilupakan.
Sebagaimana cerita dan kabar yang sudah-sudah. Berita yang pernah dan sering kita dengar. Yang pernah kita lihat dan kita baca di berbagai media cetak maupun elektronik. Tentang pemakaman yang digusur lalu tanahnya dijadikan komplek hunian, sekolahan, pasar swalayan, hotel, mal atau kepentingan lainnya. Hal semacam itu mencerminkan sedemikian tidak hormatnya yang hidup ini terhadap yang telah mati. Semakin tidak beradab sikap terhadap yang telah mati. Sedemikian kasar sikap terhadap yang tak mampu melakukan pembelaan. Yang tak mampu memprotes. Yang tak mampu melakukan sesuatu. Yang masih mempertahankan garis silsilah keturunan agar tidak kepaten obor (kehilangan jejak). Lantaran 'mereka' sudah mati. Bahwa orang mati sudah tidak memerlukan segala sesuatu! Semprul!domain nya yang sudah mati. Sungguh tidak sopan. Sungguh tidak berbudaya anggapan seperti itu. Cobalah dicerna, walau jasad sudah berkalang tanah makam. Walau hanya sekedar 'ditandai' sepotong batu nisan - itu pun jika belum digusur nisan lain - bahwa di situ pernah disemayamkan jasad seseorang bernama anu bin anu. Untuk diketahui, pemakaman adalah
Sepantasnya yang hidup menghormati yang mati. Bagaimana caranya? Yaa, dengan menjaga makam-makam yang ada. Bagi yang punya akses mengurusi tanah makam dan memiliki kekuasaan atas nama hukum atau pemerintah. Disarankan agar jangan pernah berpikiran menjadikan tanah makam untuk suatu kepentingan, apalagi sebagai lahan bisnis. Sadarlah bahwa kalian pun kelak akan terbaring di antara mereka.
Satu diantara sekian makam warisan VOC semasa berkuasa yang dikumpulkan pada satu lokasi yang dikenal sebagai Museum Prasasti. www.mediaturismeindonesia.com