Saat setasiun televisi masih dimonopoli Televisi Republik Indonesia atau TVRI. Pada masa itu cabang olah raga bulutangkis menikmati masa keemasannya. Setiap event bulutangkis seperti kejuaraan All England. Perebutan piala Thomas dan Uber Cub. Selalu disiarkan langsung. Sudah pasti. Di setiap rumah. Di depan setiap pesawat televisi, atau di depan setiap pesawat radio transistor dikerumuni warga yang asyik mengikuti jalannya pertandingan. Sesekali terdengar tempik sorai warga dan gegap gempitanya suara berasal dari pesawat televisi dan radio, manakala uliran cock Rudy Hartono melintasi permukaan net dan masuk ke wilayah pertahanan Punch Gunalan dari Malaysia. Itu terjadi di era antara tahun 70 dan 80 an, tepatnya pada tahun 1974.
Ketika itu pesawat televisi berwarna masihlah langka dan mahal pula harganya. Dan masih menjadi barang lux. Sedikit sekali anggota masyarakat mampu membeli pesawat televisi sekalipun yang berlayar black and white. Terbatasnya jaringan stasiun pemancar kerap menciptakan gambar yang tertangkap di layar berubah 'kepyur' alias bintik-bintik laksana hujan turun. Walau demikian. Tetap tak mengurangi kosentrasi pasangan mata dari layar kaca, menikmati gambar yang tidak jelas. Maklum benda tersebut dirasakan sebagai suatu mukjijat. Tidak puas dengan gambar selalu menghilang dari layar kaca. Di sebelah pesawat televisi diletakan pula sebuah pesawat radio transistor guna menangkap suara siaran, agar tidak kehilangan momen penting disaat pesawat televisi tidak menangkap sinyal gambar. Dengan gambar yang acap kali 'ngerol' seperti lintasan bantalan kereta api dari atas ke bawah, antene pemancar dipasang menjulang di ujung sebatang bambu yang tingginya berlomba mengalahkan puncak gunung.
Ketika itu pesawat televisi berwarna masihlah langka dan mahal pula harganya. Dan masih menjadi barang lux. Sedikit sekali anggota masyarakat mampu membeli pesawat televisi sekalipun yang berlayar black and white. Terbatasnya jaringan stasiun pemancar kerap menciptakan gambar yang tertangkap di layar berubah 'kepyur' alias bintik-bintik laksana hujan turun. Walau demikian. Tetap tak mengurangi kosentrasi pasangan mata dari layar kaca, menikmati gambar yang tidak jelas. Maklum benda tersebut dirasakan sebagai suatu mukjijat. Tidak puas dengan gambar selalu menghilang dari layar kaca. Di sebelah pesawat televisi diletakan pula sebuah pesawat radio transistor guna menangkap suara siaran, agar tidak kehilangan momen penting disaat pesawat televisi tidak menangkap sinyal gambar. Dengan gambar yang acap kali 'ngerol' seperti lintasan bantalan kereta api dari atas ke bawah, antene pemancar dipasang menjulang di ujung sebatang bambu yang tingginya berlomba mengalahkan puncak gunung.
Pada saat itu cabang olah raga ini berjaya dalam kelasnya di dunia. Melahirkan pahlawan-pahlawan bulutangkis seperti Tan Joe Hook, Rudi Hartono, Iie Sumirat, Verawaty Fahjrin, Ivana Lee, Lius Pongoh, Liem Swie King, Icuk Sugiarto, Susy Susanti dan sederetan nama-nama lain yang benar-benar menunjukan bahwa Indonesia gudangnya atlet-atlet bulutangkis yang disegani oleh atlet pebulutangkis negara lain. Ketika pembinaan atlet muda untuk cabang olah raga ini cukup berhasil. Buktinya susul menyusul juara-juara baru dari generasi berikutnya.
Ketika lahir stasiun televisi swasta seperti SCTV, RCTI disusul TPI. Cabang olah raga ini masih tetap bergaung, apalagi ketika cabang ini masuk sebagai cabang olah raga yang dipertandingkan dalam Olimpiade. Pebulutangkis Indonesia terus berjaya dan berhasil menggondol medali emas dan perak. Namun sorak sorai penonton di depan televisi dan radio di setiap rumah penduduk tidak lagi segegap gempita di kala stasiun televisi masih dimonopoli TVRI. Entah apa karena keberadaan televisi swasta dengan 'acara' barunya menyita perhatian publik?. Meski setiap event bulutangkis masih disiarkan langsung walau pada saat menentukan seperti semi final dan final. Namun aplaus masyarakat tak lag isegegap-gempita dahulu.
Perlu diingat pada masa itu cabang olah raga sepakbola prestasinya jauh di bawah cabang prestasi oleh raga bulutangkis. Perhatian masyarakat pada cabang oleh raga ini kalah meriah dibanding animo penonton di cabang bulutangkis. Tetapi, kondisi tersebut berangsur-angsur berbalik. Berbalik dalam pengertian bahwa dukungan penonton mulai beralih menggandrungi cabang olah raga sepakbola. Apakah karena dipicu dengan adanya siaran langsung event sepak bola piala dunia dan liga-liga di Eropa.
Sungguh ironi di mana cabang olah raga sepakbola nyaris miskin prestasi, namun secara perlahan dan pasti aplaus penonton bola kemudian menggila, sehingga bermunculanlah suporter-suporter lokal yang dipelopori oleh aremania, disusul suporter bondo nekat alias bonek, lalu suporter-suporter daerah lain dengan embel-embel mania mania dan sebagainya. Sementara di cabang olah raga bulutangkis yang terus melanjutkan prestasinya di papan atas dunia, nyaris kehilangan perhatian masyarakat. Jangan berharap memunculkan suporter bulutangkismania sebagaimana pada cabang sepak bola.
Lantas dimanakah letak permasalahannya? Kenapa cabang olah raga yang sarat prestasi nyaris kehilangan dukungan? Sementara cabang olah raga sepakbola yang minim prestasi, justru melahirkan mania-mania yang selalu menimbulkan kekacauan di mana-mana hingga kini? Kalau bicara dan mencari kesalahan dan siapa yang patut dipermasalahkan. Tentu saja sulit mendapatkan pengakuan jujur siapa yang mau bertanggung-jawab. Apalagi pertanggungjawaban dari pengurus cabang olah raga tersebut. Yang pasti, bahwa kesalahan itu adalah kesalahan kita semua. Kesalahan kita yang tidak lagi menyediakan ruang publik. Anak-anak atau generasi penerus kini tidak lagi punya tempat dan ruang untuk memainkan cabang olah raga yang tengah digandrungi. Kesalahan kita karena kita tidak lagi mengadakan event-event lokal. Yang ada hanya event-event nasional. Dahulu pertandingan cabang olah raga seperti bulutangkis, sepakbola, bola voli, basket, tinju, bola pimpong, tarik tambang, pop singer selalu diperlombakan setiap menjelang hari 17 Agustus. Pertandingan antar kelurahan. Pertandingan antar klub. Pertandingan antar sekolah. Tidak mustahil di era-era dahulu di setiap kecamatan bermunculan klub-klub. Event-event seperti itulah yang ternyata menyediakan bibit-bibit dan melahirkan atlir-atlit berprestasi yangi berangkat dari event-event di kampung. Hebatnya kala itu, meski begitu padatnya jadwal acara kejuaraan nyaris tidak pernah ada kerusuhan masal apalagi perang antar suporter.